Menjadi Taat - Halaman Kedua

 Beranjak usia dewasa dan mulai terbawa arus pada lingkup sebuah ketaatan kepada Tuhan seperti ikut acara keagamaan dan kajian untuk memahami satu sisi dalam konteks agama, sedikitnya membuat ku banyak merasa dilema dan tak tenang karena sadar akan kekurangan ku dalam ketaatan pada Tuhan ku disini. Aku sadar akan kurang ku, aku sadar akan sholat ku yang selalu tak fokus, aku sadar sebagai perempuan aku terlalu berharap pada duniawi seperti berharap kepada laki-laki yang ku sukai agar balik menyukai ku, hijab ku bahkan masih kurang menutupi dari anjuran peraturan seharusnya, aku sadar akan dosa yang mungkin selalu kulakukan namun tak ku taubati. Aku menyadari semua itu.

Antara akhirat dan dunia selalu menjadi bahan perbandingan yang mana yang harus diprioritaskan dan yang tidak. Selalu ada perasaan yang mana dulu ? Dan yang pasti jawabannya ada pada akhirat dulu tentunya. Namun dalam satu keyakinan itu selalu ada dilema karena ada rasa takut dunia tidak akan tergenggam, padahal Tuhan ku dalam agama ku selalu menjamin hal itu. Yang perlu ku lakukan sebagai hamba adalah hanya tentang sabar dan sholat dalam setiap perjalanan hidup sebelum mati saat ini.

Maka dalam setiap perasaan dilema itu selalu ku katakan pada Tuhan, "segera tuntun aku pada pertemuan ku dengan hidayah yang membuat hati dan pikiran ku taat kepada-Mu, sebab  seburuk buruknya aku sebagai perempuan yang fakir ilmu adalah aku yang tetap ingin menjadi perempuan yang sebaik-baiknya menurut-Mu" 

Dan yang kusadari dari hal ini adalah ternyata lemah iman ku. Ketidaksempurnaan ini membuat iman ku banyak melemah, menjadi taat perlu melewati banyak hal, dan menjadi taat selalu ada dunia yang harus dikorbankan. Rasanya sedih disaat niat untuk taat selalu goyah karena bingung, rasanya aku dituntun tanpa arah karena pegangan ku pada kitab ku tak sekuat orang lain yang terlihat paham akan agama mereka dan paham akan Tuhan nya. Dalam perjalanan yang melelahkan dan panjang ini, dalam perjalanan yang selalu tertutupi kabut ini, sering aku berpikir apa aku harus memiliki pemimpin terlebih dahulu untuk menuju jalan yang terang ? Pemimpin seperti suami, karena ayah tentunya tidak mungkin dia sudah tidak ada. Jujur aku merasa, mereka yang memiliki sosok laki-laki yang bisa mengarahkan pada ketaatan kepada Tuhan adalah mereka yang beruntung dalam hidupnya. Namun jika ada yang mengatakan menjadi taat tidak perlu pemimpin seperti pasangan, maka dengan itu pikiran ku tidak akan sampai pada titik rasa seperti ini. 

Jaman sekarang selalu ada wadah untuk belajar taat yaitu kajian, ada orang yang selalu menjadi pendukung pada ketaatan yaitu mereka yang sejalan dalam menggali ilmu agama, namun untuk anak perempuan yang tidak banyak memiliki arahan dan petunjuk bagaimana dunia berjalan, namun untuk anak perempuan yang tidak tahu peran pemimpin dalam agama itu seperti apa, rasanya terlalu berat dan gelap. Maka yang dimaksud orang tentang anak perempuan yang hidup tanpa peran ayah itu sulit adalah ini maksudnya, gelap dalam berjalan harus kemana arahnya. Itu kenapa dalam setiap do'a ku selalu ku selipkan permintaan "semoga dia paham akan agama nya dan dapat memimpin dengan sebaik baiknya menurut Mu," karena sebelum mati nanti aku tidak ingin menjadi seorang istri yang merugi akan akhirat ku, sebab pada dasarnya happy ending hidup seorang muslim adalah kematian yang khusnul khatimah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jatuh Hati - Halaman Pertama

TENTANG BERPACARAN - Halaman Ketujuh

SLOT/Judi dari pandangan perempuan - halaman kedelapan